Halaman

27 November 2009

Negara jelas rugi ... Yg untung siapakah???



Dalam kontrak kerja sama (KKS) di sektor migas dikenal istilah bagi hasil dan cost recovery. Bagi hasil adalah kesepakatan pembagian hasil produksi migas (sektor hulu) antara pemerintah dengan Kontraktor KKS (KKKS). Biasanya berkisar antara 80:20. 80% untuk pemerintah indonesia dan 20% untuk KKKS.
Hebat n mantep khan ... pemerintah dapat lebih besar ???
heh ... sabar dulu brur ...
masih ada cost recovery (CR) ... YAITU pengembalian seluruh biaya investasi dan operasi yang telah dikeluarkan oleh KKKS. ASIK BENER YA JADI KKKS. dah dapat migas dengan modal otak dan dengkul doang ... modal duit ... cuman isapan jempol.
pemerintah terlalu baikkah??? atau terlalu ... waduh bingung cari istilah yang pas .... mungkin NAIF kali ya???
asal tahu aja ..... produksi migas terus menurun tapi CR terus menanjak tajam.
alhasil 80% bagi hasil pemerintah adalah ampas financial dari perasan yang bernama CR.
SIAPA YANG RUGI ??? .... YA INDONESIALAH
SIAPA YANG UNTUNG ??? .... nah ini dia ... biasa ...
kayak korupsi ... (eh jangan2 emang bagian dari korupsi ya) ... SUDAH GAMBLANG KORUPSI (PREDIKATNYA) TAPI SUSAH IDENTIFIKASI SUBJEK ALIAS KORUPTORNYA
sekedar info potensial pihak yang diuntungkan:
1. KKKS
2. Birokrat (bisa presiden, menteri, pejabat BP Migas, auditor pemerintah DLL)
3. Legislator / aleg.
4. WNI yang jadi bagian dari manajemen KKKS

bagaimana menurut Anda??
HEBATKAN INDONESIA???

berikut selayang pandang Cost Recovery;

Patgulipat Dana Cost Recovery
Lukman Hakim , dosen di Unija, Madura
Menunggaknya pembayaran pajak penghasilan (PPh) 2008-2009 oleh lima kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas belum lama ini -yang merugikan negara hingga USD 113,11 juta atau hampir Rp 1,3 triliun- hanya salah satu di antara seabrek persoalan migas yang perlu segera diurai. Patgulipat pembayaran dana cost recovery (CR) oleh pemerintah pada perusahaan kini seolah menjadi ajang aji mumpung para kontraktor migas.
Dari hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) beberapa waktu lalu, banyak komponen CR yang tidak pada porsi sebenarnya. Misalnya, ongkos main golf, biaya kesehatan, corporate social responsibility (CSR), hingga biaya liburan oleh kontraktor dibebankan pada pemerintah.
Karena itu, nilai CR bertambah tahun kian meningkat, berkebalikan dengan produksi migas yang terus menurun. Pada 2008 saja, pemerintah menetapkan plafon USD 9,05 miliar (Rp 107 triliun) dari pengajuan CR USD 10,44 miliar (Rp 124 triliun). Tahun ini kontraktor migas mengajukan USD 12,9 miliar (153 triliun).
Markup
Besarnya dana CR yang diklaimkan perusahaan pada pemerintah berpotensi menggerogoti pemasukan negara. Karena itu, sekalipun sistem kontrak bagi hasil migas di atas kertas, tampaknya porsi yang diterima negara lebih besar dibanding porsi kontraktor migas, yaitu antara 70 persen : 30 persen hingga 85 persen : 15 persen. Namun, belum tentu bagi hasil itu memberikan keuntungan maksimal bagi rakyat Indonesia. Sebab, pembagian itu merupakan porsi net income yang masih harus dipotong dengan biaya operasional, pengeboran, dan eksplorasi yang dikenal dengan dana CR.
CR merupakan fitur penting lain dalam industri ekstraksi hidrokarbon, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. CR adalah sebuah ilusi yang memungkinkan kontraktor migas mendapatkan penggantian biaya-biaya yang telah dikeluarkan di dalam masa eksplorasi (yang menghasilkan migas) dan eksploitasi oleh pemerintah.
Dalam ketentuan migas yang baru, bahkan memungkinkan kontraktor migas untuk meminta persetujuan anggaran atau AFE (authorized financial expenditure) dari pemerintah melalui BP Migas hingga 100 persen dari total biaya yang telah dikeluarkan.
Tak hanya itu, khusus bagi kontraktor yang mau mengeksploitasi tambang marginal, BP Migas berani menawarkan insentif cost recovery mencapai 120 persen. Artinya, biaya eksplorasi dan eksploitasi kontraktor migas hampir mendekati nol. Kontraktor hanya menanggung risiko kalau eksplorasi tidak menghasilkan migas.
Di lain pihak, proses CR membuka peluang terjadinya markup dan manipulasi data. Apalagi, tidak ada standar baku mengenai apa yang boleh dimasukkan ke dalam komponen CR dan apa yang tidak. Semuanya bergantung pada negosiasi dengan BP Migas yang keputusannya bersifat arbitrary.
Dengan demikian, dalam komponen CR terbuka segala kemungkinan untuk meningkatkan jumlah biaya yang diganti. Termasuk, transfer pricing yang didukung bukti-bukti akuntansi material. Biaya-biaya yang telah masuk ke dalam komponen CR sulit dilacak. Sebab, telah dibukukan secara rapi oleh pihak kontraktor minyak.
CR tidak pernah disebut secara spesifik dalam kontrak PSC, hanya bahwa kontraktor menyediakan pendanaan, keahlian teknologi, dan menanggung segala risiko eksplorasi karena CR hanya merupakan metode penghitungan pengembalian dana yang dikeluarkan kontraktor.
Menyiasati CR
Untuk mencegat patgulipat pencairan dana CR yang selama ini dikembangkan, ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Pertama, proses birokrasi yang selama ini melibatkan Departemen ESDM, Ditjen Migas, BP Migas, pemda, dan DPR, khususnya terkait penetapan kontrak, WP&B, AFE, dan POD, serta penetapan kebijakan lain harus menutup peluang terjadinya korupsi.
Kedua, pelaksanaan PSC mulai dari pengadaan equipment yang kerap dilakukan melalui leasing (bukan pembelian) telah menyebabkan kerugian negara. Di samping leasing itu tidak menjadikan aset yang didatangkan sebagai milik negara, dana yang dibutuhkan untuk leasing justru dialokasikan dalam perhitungan CR.
Ketiga, dalam setiap kontrak PSC biasanya selalu dirinci secara spesifik point of lifting (untuk minyak) dan delivery point (untuk gas) yang menjadi cut-off antara eksplorasi, eksploitasi, dan tahap selanjutnya. Biaya yang terjadi di luar masa eksplorasi dan eksploitasi (termasuk biaya pemasaran) selama ini justru dibebankan dalam perhitungan CR.
Apalagi PSC kerap melakukan misalokasi pembebanan biaya dari gas ke minyak sehingga bagi hasil untuk minyak 85 persen : 15 persen atau lebih besar untuk negara dibanding untuk PSC (untuk gas bumi 65 persen : 35 persen). Fakta itu menyebabkan terkuranginya bagian pemerintah dari equity to be split.
Tidak berhenti sampai di sini, misalokasi juga merambah ke dunia internasional. Sebab, perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia adalah bagian dari perusahaan induknya yang beroperasi secara internasional (world-wide). Misalokasi pembebanan biaya dari kantor pusatnya (di luar negeri) ke operating cost PSC di Indonesia telah banyak terjadi. Hal itu semakin memperbesar CR dan mengurangi penerimaan negara.
Perlu diketahui bahwa PSC merupakan kerja sama pemerintah dengan perusahaan swasta nasional dan asing. Beberapa PSC di Indonesia berada di bawah operator atau perusahaan induk yang sama.
Pada suatu perusahaan, terdapat banyak kontrak PSC, baik yang telah berproduksi maupun belum berproduksi. CR baru akan diberikan pemerintah apabila PSC tersebut telah menghasilkan migas. Penggeseran biaya dari PSC yang belum berproduksi ke PSC yang telah berproduksi untuk mendapatkan CR bisa terjadi dalam suatu perusahaan migas. Itu tentu memperbesar CR yang harus dibayar pemerintah.
Patgulipat CR terus dikembangkan tanpa bisa diidentifikasi secara pasti siapa yang diuntungkan; oknum negara yang melakukan kontrak ataukah PSC yang menjalankan kontrak. Akan tetapi, satu hal yang pasti, kedaulatan negara atas SDA yang seyogianya diperuntukkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 33 UUD 1945) justru tidak pernah terwujud.
Ilusi atas nama CR bahkan pada suatu saat merambah ke beberapa hal berikut; a) perpindahan PSC atau jual beli economic interest; b) biaya training tenaga kerja untuk PSC; c) jumlah lifting yang tidak diaudit pengawas, hanya mempercayai dokumen yang katanya sudah computerized.
Padahal seharusnya, auditor melakukan random sampling terhadap proses uplift sehingga bisa diverifikasi sistem komputernya. Setidak-tidaknya, sistem komputer tersebut harus diaudit dan divalidasi secara teratur.